Sunday 23 November 2014

WARUGA KUBUR BATU LELUHUR MINAHASA

CAGAR BUDAYA YANG HARUS DILESTARIKAN


Waruga hingga kini masih menjadi misteri tentang asal mula penggunaan kata tersebut. Meski masih kurang begitu jelas, namun ada yang mengatakan berasal dari kata maruga (bahasa Tombulu, Tondano, Tonsea), yang artinya direbus, dan pendapat lain dari kata meruga (kata Minahasa kuno), yang berarti menjadi lembek atau cair.
Maksud yang seperti direbus atau menjadi lembek itu, tentunya daging mayat yang disimpan. Serupa sarkofagus yang berarti pemangsa daging. Yang pasti dan jelas, waruga adalah salah satu jenis peninggalan purabakala yang berfungsi sebagai tempat bersemayam seperti peti mayat (kubur batu).
Bahannya batu, terdiri atas dua bagian yang berfungsi sebagai wadah dan tutup, bentuknya menyerupai rumah dengan atapnya, bersumber dari budaya megalitik (batu besar) pada masa prasejarah.
Hal yang hampir sama dengan Waruga ada juga di Bali, dikenal dengan nama sarkofag, sedangkan di Jawa Timur ada padusa, di Sumatera Utara ada tomok, di pedalaman Kalimantan ada sanding. Mungkin juga di daerah lain ada lagi dengan nama yang berbeda.
Beragam nama, diikuti juga dengan beragam bahan dan bentuk serta hiasannya, namun maksudnya sama juga, yakni untuk tempat penyimpanan mayat (kubur).
Mungkin selama ini penemuan waruga yang diketahui hanya di Minahasa bagian utara, maka hal ini perlu diluruskan. Karena, ternyata hampir di setiap desa atau kampung di Minahasa terdapat juga kuburan batu (waruga), seperti pekarangan waruga di Desa Tonsewer, Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa.


Bahkan, di Taman Waruga Tonsewer tersebut, terdapat kuburan batu (waruga) seorang Panglima Perang Bangsa Mongolia beserta pengawalnya yang tewas jadi korban perang di masa lampau.
Waruga sebagai sarana pemakaman keluarga, biasanya diletakkan di pekarangan atau di kolong rumah. Tidak semua orang Minahasa dahulu dikuburkan di waruga, rupanya hanya orang-orang yang mempunyai posisi dan fungsi penting dalam masyarakat, sebab itu jumlah waruga juga tidak terlalu banyak. Yang telah berhasil dicacah mendekati jumlah 2.000 buah terdapat hampir di seluruh daerah Minahasa, termasuk Manado, data ini belum termasuk yang telah dijadikan koleksi museum atau dibawa ke luar Minahasa dan juga ke luar negeri.

Sejarah

Waruga mulai menarik perhatian orang, terutama para peneliti sejak C.T. Bertling menulis artikel De Minahasche Waruga en Hockerbesttung dalam majalah Nederlansche Indie Oud en Niew, No. XVI tahun 1931.
Penelirian tentang waruga memang belum tuntas, namun beberapa hal telah dapat kita ketahui. Kasih sayang dan kesetiaan kepada nenek moyang (dotu) di daerah ini antara lain dinyatakan sengan perawatan jasadnya dalam peti batu, waruga.
Kebiasaan serupa ini terdapat di berbagai daerah di Indonesia sebagai salah satu bentuk tradisi megalitik  pada masa prasejarah akhir, di Minahasa tentunya sudah ada jauh sebelum berkembangnya kebudayaan yang sekarang.
Tradisi waruga berkelanjutan hingga kira-kira pertengahan abad ke-19. Kebetulan bahwa diantara waruga yang pada bagian atap/tutup banyak hiasannya itu didapatkan beberapa angka tahun seperti : 1769, 1839, 1850.

Hiasan

Bagian tutup waruga bentuknya seperti atap rumah yang menjulang tinggi, itu banyak dipahatkan berbagai ragam hiasan berupa orang, binatang, benda alam, tumbuh-tumbuhan, ragam hiasan geometris dan lain-lain.
Ragam hias orang ada pria, wanita dengan berbagai sikap, ada yang berdiri dengan gagah, duduk, ngangkang, bahkan ada yang sedang melahirkan anak. Lambang matahari rupanya mendapat tempat khusus. Hiasan salur-salur berpilin, bunga dalam berbagai bentuk. Hiasan tumpal, tali berpintal, untaian permata, rumbai-rumbai dan lain-lain.
Hiasan-hiasan itu tampaknya merupakan lambang-lambang gambaran situasi sorgawi atau gambaran situasi dari penghuni kubur batu itu sendiri, misalnya ada yang meninggal waktu melahirkan.

Upaya Pelestarian dan Sarana Wisata Budaya

Waruga sebagai cagar budaya yang unik dan khas Minahasa ini, perlu dilestarikan dengan pedoman perundang-undangan cagar budaya yang berlaku. Dalam upaya penyelamatan Hukum Tua (Kepala Desa) Sawangan, pernah mengumpulkan waruga yang tersebar di wilayahnya dan ditaruh di pinggir desa. Dipandang dari satu sisi, khususnya penelitian, pemindahan seperti ini merugikan, tapi dari segi upaya penyelamatan sangat baik.
Setelah dilakukan penelitian oleh para pakar purbakala, sejak tahun 1976, dilakukan penataan dan penamanan. Hasilnya pada tahun 1978, telah menjadi suatu Taman Waruga Sawangan yang unik dan menarik. Disamping diatur secara berbaris, diselingi tanaman hias dan jalan setapak serta pagar keliling, terdapat juga ruang koleksi, ruang informasi sekaligus tempat jaga. Jalan-jalan pun kemudian ditata sehingga memudahkan bagi para pengunjung.
Selanjutnya, proses pemeliharaaan dan perawatan yang harus terus diupayakan dan ditingkatkan. Ayo bagi yang belum pernah berkunjung, segera datang ke Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Selain Minahasa, di Kota Manado masih banyak lagi tempat-tempat Wisata lainnya yang menarik.

No comments:

Post a Comment